Bagaimana Cara Wayang Kristiani Tercipta?

Mind Map Penciptaan Wayang Kristiani
click image to enlarge


Berdasarkan semua data yang didapat penulis, baik dari survei, studi literatur, wawancara dan jajak pendapat, saatnya bagi penulis untuk masuk dalam proses pengkajian hubungan antar teori, target, dan Desain Komunikasi Visual. Tentunya semua yang penulis lakukan berdasarkan dengan lingkup Triadik semiotik visual Charles William Morris (form, context dan content), untuk itu penulis menghubungkannya dengan Triadik Sumbo Tinarbuko. Dalam Triadik Sumbo ini, penulis menemukan hubungan yang jelas antara semua data yang dicari dalam lingkup Morris, sebab Triadik Sumbo merupakan perpanjangan dari Triadik Morris ini sendiri. Secara dasar berpola semiotik, namun lebih aplikatif terhadap keilmuan desain komunikasi visual (skema landasan penciptaan dengan menggunakan Triadik Sumbo ini dapat dilihat pada lampiran belakang penulisan).

Dalam lingkup ini, seiring dengan pandangan Prof. Dwi Marianto dalam bukunya Menempa Quanta Mengurai Seni. Dikatakan bahwa dengan mengamati (observasi), kita akan mendapat dasar untuk kita pegang dalam mencari bentuk atau seni yang baru. Untuk itu penulis mulai mengamati (penulis juga mengacu pada teori Quantum Self oleh: Danah Zohar, yang mengatakan: segala sesuatu baru akan ada bila diamati) tentang pengenalan budaya anak-anak bangsa Indonesia serta dilingkup dengan media pengajaran Alkitab pada anak dizaman sekarang ini, juga dengan pengumpulan jajak pendapat dari target dan beberapa narasumber, maka penulis melihat adanya sebuah 'celah' yang bisa dibantu dengan keilmuan desain komunikasi visual, yaitu menciptakan sebuah media pengajaran Alkitab yang akulturatif seni dan budaya Indonesia secara visual. 

Namun untuk dapat perwujudan penciptaan ini, selain pertimbangan pengakuan seni dan budaya wayang sebagai milik Indonesia, penulis juga menerapkan pola pikir yang tidak berurut (Edward de Bono, teori Berpikir Lateral: berpikir alternatif yang tidak berurut), yaitu meloncat; dimana penulis juga mengkolborasikan hasil studi literatur yang terkait dengan hibah penelitian, yang pernah dilakukan oleh penulis secara tim, tentang wayang purwa. Hal ini menjadi lingkup pemilihan budaya akulturasi yaitu dengan visualisasi wayang. Selain itu penulis juga mempertimbangan daya presepsi target yang relatif masih kecil (Ferdinand de Saussure, teori Dualitas: pertimbangan dua sisi, komukator dan komunikan agar pesan bisa tersampaikan dengan baik). Dari hasil wawancara penulis Kepala Pelaksana Museum Wayang didapatkan pula informasi bahwa dulu ada media akulturasi yang bernama wayang wahyu. namun secara visual belum sepenuhnya terakulturasi dengan budaya seni wayang purwa Indonesia, penulis menyadari perlunya penciptaan akulturasi visual wayang baru, yang dapat menjadi alat komunikasi pewartaan agama Kristen-Katolik (teori metamorfosis: perubahan terjadi karena peranan 'pemain' dan media yang mendukungnya).

Selain itu, hasil wawancara ini juga mendapatkan ide untuk mengambil pakem visual wayang wahyu sebagai dasar dalam melakukan proses akulturasi visual wayang. Hal ini karena wayang purwa adalah wayang pertama Indonesia yang visualisasinya sendiri telah mengalami akulturasi budaya Hindu dan Indonesia, hal ini seiring dengan pendapat Johann J. Winckelmann dalam teori Ekletik, dimana adanya proses pemilihan untuk mencapai sebuah penyesuaian. Hal ini mencerahkan penulis, bahwa proses akulturasi budaya, terbentuk dari pilihan yang ekletik dalam mencapai proses penyesuaian untuk masyarakat. Tentunya hal ini menjadi sebuah dasar proses pembuatan akulturasi visual bagi penulis, dimana untuk menciptakan hasil komunikasi visual wayang Kristiani berupa animasi ini, tentunya juga akan menjadi salah satu pilihan ekletik bagi target dalam upaya memperkenalkan kembali seni dan budaya Indonesia khususnya seni dan budaya wayang. Istilah tak kenal maka tak sayang, menjelaskan pentingnya peranan proses pengenalan awal bagi anak ini, untuk kelak menjadi dasar anak dalam mencintai seni dan budaya Indonesia.

Dengan ini, penulis menyadari betapa pentingnya sebuah akulturasi dalam pembuatan visual wayang Kristiani. Berpegang pada teori Pelestarian Budaya oleh: Prof. Koentjaraningrat, dimana Faktor pelestarian budaya adalah upaya mempertahankan & mengembangkan nilai (budaya) kehidupan yang baru, penulis menyadari bahwa dengan melakukan proses akulturasi ini, hasil komunikasi visual berupa wayang Kristiani, dapat pula menjadi salah satu upaya melestarikan budaya Indonesia, khususnya seni dan budaya wayang bagi target.

Tetapi pola pelestarian ini akan berhasil apabila dapat tertanam dalam pemikiran target. Berdasarkan teori Struktur Budaya oleh: Claude Lévi-Strauss, yaitu: struktur atau pola pemikiran manusia adalah dasar aktivitas budaya, penulis mempertimbangkan dampak dari penciptaan ini yang tidak mungkin selesai dengan lingkup dan keterbatasan penulis, Untuk itu pemilihan anak-anak sebagai target adalah strategi komunikasi yang tepat untuk menanamkan pola pikir akulturasi budaya Indonesia sedini mungkin. Selain itu, berdasarkan observasi, target (yang berada dalam lingkup Gereja) cenderung untuk menerima budaya luar dalam Alkitab tanpa mencoba untuk mengakulturasikannya terhadap budaya lokal, hal ini memang sejalan dengan teori Seleksi Budaya oleh: Émile Durkheim dimana masyarakat cenderung memilih harmoni daripada konflik dalam menjalankan budaya atau tradisi.

Setelah itu, penulis memfokuskan diri pada teori yang terkait dengan keilmuan komunikasi visual. Yang menjadi dasar teori penciptaan komunikasi visual penulis adalah teori semiotik visual milik Charles William Morris yang membuat klasifikasi pemetaan menjadi semantik, sintaktik dan prakmatik. Dalam hal ini penulis juga perlu menguasai empat dasar keilmuan semiotik (menurut Amir Yasraf Piliang) yang terkait dengan struktur semiotika (Saussure), aturan dan kesepakatan semiotika (Eco) dan makna semiotika (Barthes). Namun untuk masuk lebih dalam dalam klasifikasi dan korelasi lingkup keilmuan Desain Komunikasi Visual (DKV), penulis memilih acuan teori semiotika DKV bernama: Triadik Sumbo Tinerbuko. Dari klasifikasi dan pemetaan Triadik Sumbo ini, penulis dapat melihat korelasi yang jelas sehingga memudahkan penulis dalam mencari dan mengarahkan strategi yang tepat serta menyeluruh terhadap target. Setelah semua komponen Triadik Sumbo ini terpenuhi, penulis masuk dalam penetapan bentuk dan warna visual. Untuk bentuk, penulis mengacu pada teori stilasi milik Scott McCloud (sejalan dengan hasil wawancara pihak Museum Wayang mengenai pakem visual dasar wayang yang tidak mendetail), sedangkan untuk pemilihan warna, penulis mengacu pada teori warna anak (primer dan komplementer) milik Williard R. Daggett.

Semoga menginspirasi teman-teman semua..
Gusti Yesus Memberkati..


0 komentar: